SEJAK ada seorang Menteri Negara yang datang ke rumah wan Ali , banyak pejabat di daerah sering menemui wan Ali. Mulai dari pejabat selevel Gubernur hingga Kepala Desa atau calon Kepala Desa. Termasuk para pengusaha, hartawan dan wartawan.
Karena yang datang banyak, maka tak heran jika niat mereka yang ingin bertemu dengan wan Ali pun banyak macamnya. Ada yang bermaksud untuk meminta saran tentang jalan keluar dari problem hidup yang mereka hadapi.
Ada juga yang meminta untuk dido’akan agar urusannya bisa berjalan lancar. Dan tidak sedikit pula di antara mereka itu ada yang minta untuk disembuhkan dari berbagai jenis penyakit. Ndilalahnya, dari sekian banyak orang-orang yang pernah menemui wan Ali dengan segudang permasalahannya masing-masing itu, tak ada satu pun yang kecewa.
Semua hajat yang pernah mereka utarakan kepada wan Ali, ndilalahnya, kersane Gusti Allah, diwujudkan Allah sesuai dengan yang diinginkan oleh orang yang menyampaikan keluhan tersebut kepada wan Ali. Gara-gara itulah, lalu tersebarlah berita tentang kehebatan wan Ali dari mulut ke mulut. Tamu-tamu pun terus berdatangan.
Akibat tamu-tamu yang berkunjung ke rumahnya tak pernah berhenti, warung hikmah wan Ali pun akhirnya jarang buka. Kalau pun, misalnya, buka, maka jadwal bukanya tidak seperti biasanya. Pasalnya, baru saja buka, tiba-tiba wan Ali sudah disusul oleh istrinya atau anak-anaknya yang memberitahu bahwa di rumahnya ada tamu yang ingin bertemu dengan wan Ali.
Meskipun jarang buka dan jarang bertemu dengan tiga pelanggan tetapnya --- yaitu wan Imin, wan Juned dan wan Abu --- tapi secara hati, wan Ali bisa merasakan bagaimana keadaan ruhani ketiga sahabatnya itu. Wan Ali tahu kalau dirinya sedang ‘diadili’ dan ‘digugat’ oleh wan Imin, wan Abu dan wan Juned. Tapi, karena kondisi yang memang lagi kurang kondusif, maka wan Ali pun berusaha untuk menafikan tentang perasaan yang sedang berkecamuk dalam dirinya.
Ketika ada waktu luang setelah menerima tamu-tamu yang ingin musyawarah padanya, wan Ali mencoba untuk memanfaatkan waktu luang itu dengan cara berkunjung ke rumah wan Juned. Kebetulan saat dia datang ke rumah wan Juned, ada wan Imin dan wan Abu.
“Wah … pucuk dicinta, ulam pun tiba. Alhamdulillah akhirnya bisa ketemu juga. Wah … sekarang betul-betul sudah sibuk ya, wan Ali. Saking sibuknya, sampai-sampai kami sering kesulitan untuk bisa ketemu sampeyan?” ujar wan Abu.
“Saya itu kan hanya nderek kersan-e Gusti Allah. Kalau mau menurutkan nafsunya saya, sebetulnya saya lebih senang berjualan kopi di warung. Tapi, karena Gusti Allah yang menggerakkan orang-orang itu datang ke rumah saya, ya mau bagaimana lagi? Masak saya berani menolak dan mengusir mereka. Iya kan?” kata wan Ali.“Yang penting,” tukasnya, “meski kita jarang ketemu, tapi secara hati kan kita tetap dekat dan tetap bisa saling mendo’akan. Itulah kuncinya untuk bisa nderek kersan-e Gusti Allah. Manut napa sae-ne miturut Gusti Allah.”